ERASUMBU, BANDUNG – Penangkapan Direktur Pemberitaan JAK TV oleh Kejaksaan Agung atas tuduhan menghalangi penyidikan kasus korupsi menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers. Peristiwa ini bukan hanya soal dugaan pidana, tetapi juga menyentuh jantung demokrasi: kebebasan pers dan fungsi kontrol media terhadap kekuasaan.
Tuduhan “merintangi penyidikan” yang dialamatkan kepada JAK TV perlu dikaji dengan hati-hati. Menurut Ilmi Hatta, jurnalis senior sekaligus pendiri Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Barat, jika berita yang disiarkan JAK TV disusun berdasarkan fakta dan melalui proses verifikasi, maka hal itu adalah bagian dari kerja jurnalistik yang sah dan dilindungi Undang-Undang Pers. “Pers tidak bisa dihambat hanya karena menyentuh isu sensitif. Tapi kalau memang ada bukti kuat perintangan, proses hukumnya harus transparan agar tidak disalahgunakan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya prosedur hukum yang adil. Dalam proses penangkapan, aparat wajib menjunjung tinggi asas due process of law—hak atas bantuan hukum, proses pengadilan yang terbuka, dan asas praduga tak bersalah. “Kejaksaan Agung harus memastikan bahwa proses hukum ini tidak dipakai sebagai alat represi,” tambah Ilmi.
Yang menjadi keprihatinan lebih dalam adalah pendekatan represif yang diambil dalam kasus ini. Seharusnya, sengketa antara media dan aparat hukum diselesaikan lebih dulu melalui mekanisme mediasi di Dewan Pers, sesuai amanat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Dewan Pers punya mandat untuk membedah apakah sebuah berita melanggar kode etik atau tidak. Penangkapan bukan solusi awal,” jelas Ilmi.
Lebih jauh, ia mengingatkan tentang potensi munculnya chilling effect atau efek jera bagi media lain. Jika jurnalis takut memberitakan kasus besar karena ancaman kriminalisasi, maka fungsi pers sebagai pengawas publik akan melemah. “Ini berbahaya bagi demokrasi. Kalau pers takut, siapa lagi yang mengawasi kekuasaan?” kata Ilmi.
Untuk itu, Ilmi menyerukan tiga hal penting: Kejaksaan Agung perlu membuka klarifikasi publik atas alasan penangkapan, redaksi JAK TV harus diberi ruang membela diri sesuai mekanisme UU Pers, dan Dewan Pers harus dilibatkan untuk menilai jika ada dugaan pelanggaran etik.
“Pers bukan musuh penegak hukum, tapi mitra dalam menjaga transparansi. Jangan sampai kebebasan pers dikorbankan oleh tafsir hukum yang keliru,” tutup Ilmi.
BANDUNG, ERASUMBU – Kota Bandung kembali menghadirkan destinasi liburan yang seru dan menegangkan, terutama bagi…
JAKARTA, ERASUMBU – Memasuki usia ke-40 tahun, PertaLife Insurance menggelar aksi sosial bertajuk PertaLife Peduli…
JAKARTA, ERASUMBU– PT Perta Life Insurance (PertaLife Insurance) mengumumkan susunan pengurus terbaru setelah menggelar Rapat…
BANDUNG, ERASUMBU – Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menyebut tak lagi membutuhkan pers…
BANDUNG, ERASUMBU - Festival Permainan Rakyat Jawa Barat 2025 resmi dibuka dan berlangsung meriah di…
BANDUNG, ERASUMBU – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Provinsi Jawa Barat melalui UPTD Pengelolaan Kebudayaan…
This website uses cookies.